Senin, 22 Juni 2009

ETOS KERJA GEMBALA DGN YG DIGEMBALAKAN

ETOS KERJA GEMBALA DENGAN YANG DIGEMBALAKAN
DRS. JERRY RUMAHLATU,D.TH


MISSION STATEMENT SEORANG GEMBALA
TETAP MEMPERTAHANKAN DISIPLIN TINGGI DALAM HIDUP DAN KERJA
BERTANGGUNG JAWAB PENUH KEPADA GEMBALA
BERTANGGUNG JAWAB PENUH ATAS YANG DIGEMBALAKAN SEHINGGA TUHAN DIMULIAKAN
I remain to maintain high discipline in life and activity
Responsibly full to superior and hold
Responsibly full to the sub ordinate so God is glorified.


PENDAHULUAN

Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus. (Efesus 4:11-13)
Memperlengkapi adalah sesuatu tugas yang sukar, lebih sukar disbanding dengan penggembalaan. Gembala harus mempelengkapi orang yang digembalakan untuk melayani lebih baik lagi dari dirinya sendiri. Paulus menjelaskan tujuan penggembalaan. Jika para gembala berharap untuk memperlengkapi satu isntitusi, mereka harus memberikan beberapa pemberian tertentu sebagai tanggung jawab sebagai seorang gembala:
Gembala harus CARE (Communication, Affirmation, Recognition, Example)
Gembala harus memperbaiki kelemahan dan meningkatkan kekuatan mereka;
Gembala harus memberikan diri sendiri bagi mereka (waktu, tenaga, dan pusat perhatian)
Gembala harus memberikan kepemilikan atas pelayanan kepada mereka;
Gembala harus menjadi suatu pribadi sumber (keadaan, pelatihan, dukungan, peralatan);
Gembala harus menjelaskan harapan-harapan ke depan;
Gembala harus melenyapkan/menangunglangi beban yang tidak perlu ada;
Gembala harus melihat yang digembalakan melakukan sesuatu yang baik, kemudian memberikan salary kepada mereka atas pekerjaan/pelayanan.
Bagi beberapa orang, tanggung jawab adalah yang termudah diberikan. Tetapi yang sukar bagi beberapa Gembala adalah mengizinkan para Majelis untuk menjaga tanggung jawab setelah diberikan. Dengan tanggung jawab harus ada otoritas.
Winston Churchill berkata dalam sebuah pidato, “Saya adalah pelayan Anda. Anda mempunyai hak untuk menyuruh saya pergi setiap kali Anda menginginkannya. Yang bukan merupakan hak Anda adalah meminta saya memanggul tanggung jawab tanpa otoritas untuk bertindak.”
Sekali tanggung jawab dan otoritas telah diberikan kepada para majelis/penatua, mereka diperkuat untuk mewujudkan segala sesuatu. Tetapi Gembala juga harus memastikan bahwa yang digembalakan sedang mewujudkan hal-hal yang benar. Pada saat itulah kepercayaan muncul.

A. GEMBALA --DIGEMBALAKAN MEMPUNYAI PERANAN KHUSUS
Karena titah raja berkuasa; siapakah yang akan mengatakan kepadanya: “Apakah yang baginda buat?” Siapa yang mematuhi perintah tidak akan mengalami perkara yang mencelakakan, dan hati orang berhikmat mengetahui waktu pengadilan,…… Semua ini telah kulihat dan aku memberi perhatian kepada segala perbuatan yang dilakukan di bawah matahari, ketika orang yang satu menguasai orang yang lain hingga ia celaka. (Pengkotbah 8:4-5,9)
Salomo menjelaskan tentang hubungan kita dengan Gembala kita. Kita harus tunduk kepada mereka, bukan karena tugas tersebut layak menerimanya, melainkan karena tugas tersebut layak diterimanya dan Allah menentukannya. Dan bagaimana dengan para Gembala yang mempunyai otoritas? Salomo juga memberikan peringatan. Jika para Gembala berusaha melaksanakan otoritas tanpa hati seorang hamba, mereka akhirnya akan menyakiti diri sendiri. Dibawah ini dapat dilihat bagaimana peranannya:

1. Gembala:
1.1. Laksanakan otoritas dengan hikmat dan kewaspadaan;
1.2. Akuilah bahwa tidak seorang manusia pun dapat mengendalikan semua kehidupan;
1.3. Gembalah orang lain dengan melayani, bukan memerintah mereka.


2. Yang Digembalakan:
2.1. Tunduk pada otoritas yang diberikan Tuhan;
2.2. Mempercayai Allah untuk memcapai maksud-nya;
2.3. Jangan menyerah atau menjadi terpecah.

B. GEMBALA HARUS MEMPERTAHANKAN DISIPLIN TINGGI
Tetap : yaitu harus selalu berada di tempatnya, tidak berubah (keadaannya, kedudukannya, tidak berpindah-pindah, tidak beranjak; tidak putus-putusnya; selalu; terus-menerus; sudah pasti. (KBBI, 1050: 1996)
Pertahankan : (tahan) tetap keadaannya = kedudukannya; kuat atau sanggup menderita/menanggung sesuatu. Mempertahankan artinya tetap ada dalam situasi apapun dan siap menerima resiko; penderitaan sehingga menjadi kuat dalam pelayanan.
Disiplin: ketaatan/kepatuhan pada peraturan tata tertib yang sudah ada; pendekatan yang mengikuti ketentuan-kententuan yang pasti dan konsisten untuk memperoleh pengertian-pengertian dasar yang menjadi sasaran terhadap ketentuan yang ada. (KBBI hal 237:1996)
Tinggi : sesuatu hal yang mempunyai standar nilai maximal, yang tidak bisa diigangu lagi. (KBBI 1058: 1996)

1. Disiplin : Secara universal maupun khusus : Matius 4:1-11; 14:13,23, Lukas 6:12; Matius 26:36-46.
1.1. Kunci kehidupan disiplin : Richard Foster, merayakan disiplin, mendengarkan adalah suatu disiplin yang tertua di bumi (Your Best Life Now 381:2006)
1.2. Penghalang-penghalan kehidupan disiplin:
1.2.1. Para Domba selalu mengharapkan Gembala untuk berbicara lebih dari apa pun.
1.2.2. Para Gembala telah terlatih untuk berbicara, sehingga mereka cenderung terus bicara.
1.3. Kepentingan kehidupan disiplin:
1.3.1. Kehidupan menyendiri dengan Tuhan yang menggerakkan kita untuk menggapai kebenaran yang bersifat proposional kepada kebenaran yang relasional. Kebenaran relasional adalah kunci kepada kehidupan yang intim dengan Tuhan.
1.3.2.Menyendiri dengan Tuhan/mendengar Tuhan adalah kunci kepada pekerjaan untuk Allah.
2. Dalam hidup dan kerja:
2.1. Kerja adalah aktualisasi diri.
2.2. Aktualisasi diri artinya “pengukapan atau pernyataan diri kita” Kerja bukanlah semata-mata tenaga yang dinilai dengan uang saja tetapi kerja adalah pernyataan kualitas mental dan rohani dari diri kita. Sehingga apa saja yang diaktualisasikan:
2.2.1.Kemampuan kita untuk bekerja dengan penuh tanggung jawab, yaitu bekerja rapih, cepat dan benar. Ada yang bekerja cepat tetapi banyak salahnya, ini hanya membuang waktu.
2.2.2.Kejujuran, factor kejujuran juga menentukan, bahkan untuk pekerjaan tertentu kejujuran menjadi mutlak.
2.2.3.Disiplin, kedisiplinan adalah hal yang diinginkan oleh setiap lembaga, baik disiplin untuk jam masuk dan pulang kerja, disiplin dalam melakukan tugas-tugas dan lain sebagainya.
2.2.4.Kemauan untuk maju, banyak orang yang jika sudah bekerja akan menjadi robot, tidak mau mencari hal-hal baru. Akhirnya tetap berjalan ditempat saja.

3. Tanggung Jawab Penuh Gembala kepada Yang di Gembalakan
3.1 Hubungan Tanggung Jawab Gembala:
3.1.1. Mengedepankan positif thingking kepada Gembala. Yang di Gembalakan harus memiliki prasangka baik dan kepercayaan penuh kepada Gembala.
3.1.2. Buanglah jauh-jauh rasa curiga dan apriori agar kita dapat memberikan penilaian yang jujur dan obyektif kepada Gembala.
3.1.3. Sikap ini akan meniadakan ganjalan psikologis antara yang di gembalakan dengan Gembala.
3.1.4. Obyektivitas akan memberi kita rambu-rambu dalam memandang diri Gembala secara utuh.
3.1.5. Tidak membabi buta dalam mengambil satu tindakan yang salah atau keliru, harus dengan berkepala dingin, menyingkapi semua situasi yang ada.
3.1.6. Sebaliknya kalau kita menjaga jarak terlalu jauh akan mengakibatkan kita bersikap curiga, buruk sangka.
3.1.7.Terlalu patuh akan melemahkan obyektivitas, sehingga kita akan menjadi majelis/sinode yang patuh secara salah dan apriori.
3.1.8. Patuhilah Gembala secra wajar, jangan berlebihan. Jangan sampai ada kesan kita sedang mencari muka.
3.1.9. Kesalahpahan dalam memahami loyalitas juga akan berakibat kurang baik.
3.1.10. Hal ini tidak salah dengan syarat perintah tersebut bersifat positif.
3.1.11. Kenyataan di atas memberikan pemahaman baru bahwa patuh atau loyal kepada Gembala tidak mutlak mematuhinya?
4. Tanggung Jawab Penuh Yang di Gembalakan kepada Gembala
4.1. Patuh kepada setiap Gembala:
4.1.1. Apakah patuh sama artinya dengan menjilat.
4.1.2. Patuh berarti mau melaksanakan seluruh perintah Gembala, sepanjang perintah tersebut tidak bertentangan dengan prosedur dan aturan institusi.
4.1.3. Karena tidak obyektif harus tetap dijaga, siapapun yang menjadi Gembala harus tetap dihormati.
4.1.4. Memang ini tidak dapat dipisahkan dari performa pribadi atasan sendiri, ada yang menawan ada pula yang menjengkelkan.
4.1.5. Tapi apapun perangainya kita harus memberikan hormat kita karena setiap manusia dilahirkan berbeda.
4.1.6. Kita harus membedakan Gembala sebagai pribadi atau sebagai pemimpin.
4.1.7. Mungkin saja karena tabiatnya kurang simpatik sehingga sebagai bawahan agak susah meladeninya.
4.1.8. Bagaimanapun karakternya sepanjang tidak merugikan institusi tidak ada alasan bagi kita untuk tidak patuh dan hormat kepadanya.
4.1.9. Memamng kita harus mengorbankan sedikit ego kita, namanya saja yang di gembalakan sudah pasti harus mau berkorban.

4.2. Hubungan Dengan Yang di Gembalakan:
4.2.1. Seorang Gembala adalah orang yang mampu mengelola Domba-domba dengan sifat-sifat yang beraneka ragam.
4.2.2. Titik tekannya adalah aspek manusiawi, bukan sekedar seorang Gembala yang memerintah Domba-domba.
4.2.3. Tanggungjawab seorang Gembala sebatas menjalankan tugas sesuai dengan prosedur institusi.
4.2.4. Membedakan mana Gembala yang sekedar gembala dan mana gembala yang juga seorang pelayan.
4.2.5. Seorang Gembala yang hanya gembala tidak mau dan tidak merasa bertanggung jawab di luar prosedur institusi.
4.2.6. Seorang Gembala akan berupaya merefleksikan pelayanannya tidak sebatas di kantor gereja, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
4.2.7. Dengan kata lain Gembala akan memberikan keteladanan kepada yang digembalakan.
4.2.8. Yang di gembalakan bukan sekadar pekerja upahan, tetapi adalah manusia yang memiliki martabat yang sama.
4.2.9. Yang digembalakan adalah domba yang memiliki hak dan kewajiban sebagai domba.
4.2.10.Sebagai manusia, kedudukan majelis tidak lebih rendah daripada Gembala.
4.2.11.Gembala memiliki harga diri yang tidak seorang pun sama dengannya, termasuk domba-domba itu sendiri yang tidak boleh menginjak-nginjak seorang majelis.
4.2.13.Yang digembalakan harus mengangkat martabatnya sehingga majelis tidak merasa ada ganjalan psikologis kepada Gembala.

4.3. Diharapkan Dari Gembala Kepada Yang Digembalakan:
4.3.1.Kejujuran 4.3.10.Dapat diandalkan
4.3.2.Kesanggupan 4.3.11.Suportif
4.3.4.Melihat Kedepan 4.3.12.Mendorong
4.3.5.Memberi inspirasi 4.3.13.Peduli
4.3.6.Kepandaian 4.3.14.Kerjasama
4.3.7.Pikiran yang fair 4.3.15.Kematangan
4.3.8.Pemikiran yang luas 4.3.16.Ambisi positif.
4.3.9.Imajinatif



5. Penutup
Jika orang benar bertambah, bersukacitalah rakyat, tetapi jika orang fasik memerintah, berkeluhkesalah rakyat….. Dengan keadilan seorang raja menegakkan negerinya, tetapi orang yang memungut banyak pajak meruntuhkannya.. Orang benar mengetahui hak orang lemah, tetapi orang fasik tidak mengertinya….Kalau pemerintah memperhatikan kebohongan, semua pegawainya menjadi fasik….Bila tidak ada wahyu, menjadi leiarlah rakyat. Berbahagialah orang yang berpegang pada hokum. (Amsal 29:4,7,12,18.
Orang mencerminkan Gembalanya. Kita tidak dapat mengharapkan para domba yang digembalakan bertumbuh melampaui Gembala mereka. Kita tidak dapat mengharapkan para majelis/sinode berbeda secara mendasar dari Gembala mereka. Renungkanlah apa yang dikatakan Amsal kepada kita tentang pengaruh Gembala yang baik dan gembala yang buruk. Sikap---Jika gembala yang baik memerintah, rakyat berkeluh kesah; Stabilitas---Jika gembala yang bermoral memerintah, mereka menegakkan keadilan; para gembala yang berkompromi meruntuhkan segala sesuatu; Belas kasihan, Kejujuran, Visi—yang teguh menjaga semua orang di jalurnya; kekacauan memerintah saat visi hilang.
Kiranya setiap gembala dan yang digembalakan baik yang ada di daerah terpencil maupun di kota-kota besar harus berbesar hati, karena dimana saja kita berada tujuan utopinya hanya satu yaitu melayani, dan melayani Dia sang Raja kepala Gereja kita yang akan datang. Solideo Gloria!

Jakarta, 23 Juni 2009.

Drs. Jerry Rumahlatu,D.Th
Rektor Institut Jaffray Jakarta

PILPRES PEMIMPIN NASIONALISME-PANCASILAIS

PEMILIHAN PRESIDEN
NASIONALISME-PANCASILAIS DAN KARAKTER BANGSA

I.PEMILIHAN PRESIDEN

Dalam konteks pilpres 2009, dapat disebutkan sekurang-kurangnya ada sebelas catatan penting tentang apa yang dapat dikonstruksikan sebagai harapan rakyat Indonesia pada seorang presiden dan wakil presdien terpilih.
Catatan ini menjadi penting bukan saja untuk melengkapi apa yang sesungguhnya telah direspon dalam bentuk visi-misi dan atau jargon kampanye para pasangan calon presiden-wakil presiden namun juga untuk membuat kita sadar bahwa terdapat hal-hal mendasar yang akan senantiasa penting setiap kali kita memilih seorang presiden.
“Kebijakan ekonomi pro-rakyat”, “melanjutkan pemberantasan korupsi dan meningkatkan praktik good governance”, atau “lebih cepat, lebih baik” masing-masing memang memiliki relevansinya untuk negeri ini. Walau begitu, terdapat sejumlah harapan pokok yang tidak semuanya dapat direspon dalam program aksi atau kebijakan yang bersifat nomenklatur. Berikut ini adalah sebelas catatan penting tentang pro-rakyat:

Pertama, rakyat Indonesia ingin agar presiden mendatang dapat memperkuat tradisi yang tidak saja memperlakukan demokrasi melulu sebagai prosedur namun juga sebagai tujuan dan nilai-nilai. Mempertaruhkan ketiga hal tersebut secara utuh merupakan satu-satunya jalan untuk membuat demokrasi dapat menghasilkan kebebasan, kesetaraan, kesejahteraan, dan keadilan yang tidak saja meluas namun juga berkelanjutan.

Kedua, rakyat menghendaki agar seorang presiden memiliki kecakapan dan komitmen yang kuat untuk membangun Indonesia di atas sebuah prinsip universal negara-bangsa. Prinsip yang dimuliakan adalah hadirnya kepercayaan bahwa negara sebagai sebuah kolektivitas bukanlah wujud penaklukan dan atau superioritas satu agama tertentu, ras tertenu, suku bangsa tertentu, atau golongan tertentu terhadap yang lain. Dengan kata lain, negara adalah perwujudan kehendak bersama warga negara yang merdeka dan setara, apapun latar belakang kelas dan kulturalnya.

Ketiga, rakyat ingin melihat presidennya menjadi cermin dan tauladan bagi penghormatan dan toleransi atas kemajemukan Indonesia, baik yang timbul karena perbedaan ideologi (pluralisme) ataupun yang terlahir karena perbedaan identitas (multikulturalisme). Kuatnya harapan ini karena hadirnya kesadaran bahwa kemajemukan adalah keniscayaan yang tidak saja melekat secara inheren dalam ke-Indonesia-an namun juga memiliki potensi yang besar untuk menghasilkan ketegangan dan perpecahan.

Keempat, rakyat negeri ini ingin melihat presidennya memiliki kecakapan bertindak untuk di satu pihak setia pada konstitusi, undang-undang serta kepatutan lainnya dan di pihak lain menghasilkan terobosan kreatif untuk mengatasi skenario “benang kusut” Indonesia. Kecakapan bertindak berdasarkan dua kebajikan ini merupakan kepemimpinan inventif yang menjadi jawaban bagi tantangan Indonesia di awal Abad XXI.

Kelima, rakyat di negeri ini ingin memiliki presiden yang menyelamatkan, bukan yang membahayakan Indonesia dan masa depannya. Penyelamatan Indonesia terlihat dari kualitas pemimpin yang tidak saja cerdas secara ekonomi, politik, bahkan militer namun juga secara sosial, budaya, dan etika. Dunia sedang berubah, kerap dengan arah yang kurang jelas. Memastikan bahwa Indonesia sedang bergerak ke arah yang tepat adalah harapan rakyat Indonesia. Bila dipikirkan, ketepatan arah pergerakan ditentukan oleh hadirnya penguatan peradaban baru dunia yang dibangun berdasarkan asas yang mengutamakan kerja sama, kepercayaan, perdamaian, dan toleransi.

Keenam, rakyat ingin memiliki presiden yang memiliki kepercayaan kokoh bahwa mandat yang diperolehnya dari rakyat secara langsung itu dapat menyediakan wibawa konstitusional yang kuat untuk menghadapi parlemen. Dalam sistem presidensial, parlemen menjadi penting karena hanya dapat menjalankan fungsi checks and balances terutama melalui fungsi legislasi, anggaran, pengawasan, dan tidak pernah untuk membuat seorang presiden berdiri di depan parlemen untuk bertanggung jawab kepadanya! Dalam sistem presidensial yang melibatkan pemilihan langsung, presiden diharapkan menjalankan mandat rakyat tanpa ragu dan atau menjadi terlalu sibuk memikirkan keseimbangan kekuatan politik di DPR.

Ketujuh, rakyat ingin mendengar presidennya berbicara dalam bahasa yang mereka mengerti, bukan memakai bahasa orang Mars atau Venus. Dalam keseharian rakyat, hidup merdeka sekurang-kurangnya berarti tidak ada kecemasan untuk dapat makan, berteduh, berobat ketika sakit, dan menyekolahkan anak-anak setinggi cita-cita dan bakatnya. Dalam pandangan rakyat, pembangunan hanya memiliki makna yang relevan apabila terjadi perubahan berangsur namun pasti dalam penyediaan lapangan kerja, perumahan, kesehatan, dan pendidikan.

Kedelapan, rakyat ingin memiliki presiden yang berdiri tegak dan berbicara terang di depan mereka ketika negeri ini menghadapi situasi kritis. Mereka ingin mendengarkan pikiran-pikiran presidennya yang di dalamnya tidak saja tersirat kepercayaannya yang kuat namun juga tersurat kemasukakalannya sebagai solusi.

Kesimbilan, rakyat tidak ingin memiliki presiden yang suka membual, apalagi berdusta. Tidak juga pada presiden yang berpura-pura tidak tahu atau bertindak seakan-akan tidak ada masalah yang gawat. Rakyat ingin memiliki seorang presiden yang berpandangan jernih dan berbicara jujur kepada rakyatnya.

Kesepuluh, rakyat ingin memiliki presiden yang dekat dan terjangkau. Kedekatan itu tercermin dari kemampuannya untuk mendengar rakyat, bahkan dalam bisik-bisik sekalipun. Keterjangkauan itu terlihat dalam tindakannya yang tanggap walaupun birokrasi dan protokol menguasainya.

Kesebelas, rakyat di negeri ini ingin dapat melewati setiap tidur malamnya dengan nyenyak. Mereka bisa tidur nyenyak karena tahu bahwa presidennya mengurus diri dan keluarganya dengan baik, di saat susah atau senang.
Dalam kepercayaan inilah adalah sebelas butir emas suara rakyat yang tak terucap namun tertera secara bening dalam sanubari terdalam dalam setiap kehidupan warga negara-bangsa Indonesia. Suara-suara inilah memang tidak untuk diteriakkan tetapi untuk ditangkap oleh “mereka yang terpilih”.































PEMILIHAN PRESIDEN
PANCASILA DAN KARAKTER BANGSA

I. PEMILIHAN PRESIDEN

Dalam konteks pilpres 2009, terdapat sekurang-kurangnya sebelas catatan penting tentang apa yang dapat dikonstruksikan sebagai harapan rakyat Indonesia pada seorang presiden dan wakil presdien terpilih.
Catatan ini menjadi penting bukan saja untuk melengkapi apa yang sesungguhnya telah direspon dalam bentuk visi-misi dan atau jargon kampanye para pasangan calon presiden-wakil presiden namun juga untuk membuat kita sadar bahwa terdapat hal-hal mendasar yang akan senantiasa penting setiap kali pemilihan presiden.
“Kebijakan ekonomi pro-rakyat”, “melanjutkan pemberantasan korupsi dan meningkatkan praktik good governance”, atau “lebih cepat, lebih baik” masing-masing memang memiliki relevansinya untuk negeri ini. Walau begitu, terdapat sejumlah harapan mendasar/pokok yang tidak semuanya dapat direspon dalam program aksi atau kebijakan yang bersifat nomenklatur. Berikut ini ada sebelas catatan penting yang diprioritaskan bagi seorang presiden akan datang:

Pertama, rakyat Indonesia ingin agar presiden mendatang dapat memperkuat tradisi yang tidak saja memperlakukan demokrasi melulu sebagai prosedur namun juga sebagai tujuan dan nilai-nilai. Mempertaruhkan beberapa hal penting yang ada dibawah ini sehingga dapat dilihat secara utuh merupakan satu-satunya jalan untuk membuat demokrasi dapat menghasilkan kebebasan, kesetaraan, kesejahteraan, dan keadilan yang tidak saja meluas namun juga berkelanjutan.

Kedua, rakyat menghendaki agar seorang presiden memiliki kecakapan dan komitmen yang kuat untuk membangun Indonesia di atas sebuah prinsip universal negara-bangsa. Prinsip yang dimuliakan adalah hadirnya kepercayaan bahwa negara sebagai sebuah kolektivitas bukanlah wujud penaklukan dan atau superioritas satu agama tertentu, ras tertenu, suku bangsa tertentu, atau golongan tertentu terhadap yang lain. Dengan kata lain, negara adalah perwujudan kehendak bersama warga negara yang merdeka dan setara, apapun latar belakang kelas dan kulturalnya.

Ketiga, rakyat ingin melihat presidennya menjadi cermin dan tauladan bagi penghormatan dan toleransi atas kemajemukan Indonesia, baik yang timbul karena perbedaan ideologi (pluralisme) ataupun yang terlahir karena perbedaan identitas (multikulturalisme). Kuatnya harapan ini karena hadirnya kesadaran bahwa kemajemukan adalah keniscayaan yang tidak saja melekat secara inheren dalam ke-Indonesia-an namun juga memiliki potensi yang besar untuk menghasilkan ketegangan dan perpecahan.

Keempat, rakyat negeri ini ingin melihat presidennya memiliki kecakapan bertindak untuk di satu pihak setia pada konstitusi, undang-undang serta kepatutan lainnya dan di pihak lain menghasilkan terobosan kreatif untuk mengatasi skenario “benang kusut” Indonesia. Kecakapan bertindak berdasarkan dua kebajikan ini merupakan kepemimpinan inventif yang menjadi jawaban bagi tantangan Indonesia di awal Abad XXI.

Kelima, rakyat di negeri ini ingin memiliki presiden yang menyelamatkan, bukan yang membahayakan Indonesia dan masa depannya. Penyelamatan Indonesia terlihat dari kualitas kepemimpinan yang tidak saja cerdas secara ekonomi, politik, bahkan militer namun juga secara sosial, budaya, dan etika. Dunia sedang berubah, kerap dengan arah yang kurang jelas. Memastikan bahwa Indonesia sedang bergerak ke arah yang tepat adalah harapan rakyat Indonesia. Kita berpikir, berketepatan arah pergerakan yang ditentukan oleh hadirnya penguatan peradaban baru dunia yang dibangun berdasarkan asas yang mengutamakan kerja sama, kepercayaan, perdamaian, dan toleransi.

Keenam, rakyat ingin memiliki presiden yang memiliki kepercayaan kokoh bahwa mandat yang diperolehnya dari rakyat secara langsung itu dapat menyediakan wibawa konstitusional yang kuat untuk menghadapi parlemen. Dalam sistem presidensial, parlemen menjadi penting karena dan hanya oleh itu dapat menjalankan fungsi checks and balances terutama melalui fungsi legislasi, anggaran, pengawasan, dan tidak pernah untuk membuat seorang presiden berdiri di depan parlemen untuk bertanggung jawab kepadanya! Dalam sistem presidensial yang melibatkan pemilihan langsung, presiden diharapkan menjalankan mandat rakyat tanpa ragu dan atau menjadi terlalu sibuk memikirkan keseimbangan kekuatan politik di DPR.

Ketujuh, rakyat ingin mendengar presidennya berbicara dalam bahasa yang mereka mengerti, bukan memakai bahasa orang Mars atau Venus. Dalam keseharian rakyat, hidup merdeka sekurang-kurangnya berarti tidak ada kecemasan untuk dapat makan, berteduh, berobat ketika sakit, dan menyekolahkan anak-anak setinggi cita-cita dan bakatnya. Dalam pandangan rakyat, pembangunan hanya memiliki makna yang relevan apabila terjadi perubahan berangsur namun pasti dalam penyediaan lapangan kerja, perumahan, kesehatan, dan pendidikan.

Kedelapan, rakyat ingin memiliki presiden yang berdiri tegak dan berbicara terang di depan mereka ketika negeri ini menghadapi situasi kritis. Mereka ingin mendengarkan pikiran-pikiran presidennya yang di dalamnya tidak saja tersirat kepercayaannya yang kuat namun juga tersurat kemasukakalannya sebagai solusi.

Kesembilan, Rakyat tidak ingin memiliki presiden yang suka membual, apalagi berdusta. Tidak juga pada presiden yang berpura-pura tidak tahu atau bertindak seakan-akan tidak ada masalah yang gawat. Rakyat ingin memiliki seorang presiden yang berpandangan jernih dan berbicara jujur kepada rakyatnya.

Kesepuluh, rakyat ingin memiliki presiden yang dekat dan terjangkau. Kedekatan itu tercermin dari kemampuannya untuk mendengar rakyat, bahkan dalam bisik-bisik sekalipun. Keterjangkauan itu terlihat dalam tindakannya yang tanggap walaupun birokrasi dan protokol menguasainya.

Kesebelas, rakyat di negeri ini ingin dapat melewati setiap tidur malamnya dengan nyenyak. Mereka bisa tidur nyenyak karena tahu bahwa presidennya mengurus diri dan keluarganya dengan baik, di saat susah atau senang.
Dalam kepercayaan ini adalah merupakan sepuluh suara hati terdalam dari rakyat yang tak terucap namun tertera secara bening dalam sanubari setiap warga negara-bangsa Indonesia. Suara-suara ini memang tidak untuk diteriakkan tetapi untuk ditangkap oleh “mereka yang terpilih”.





III. PORFIL PEMIMPIN BANGSA

Profil pemimpin yang dibutuhkan saat ini dan mampu menyelesaikan berbagai masalah bangsa dan negara berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 guna mewuyudkan Negara demokrasi yang adil, damai, makmur dan sejahtera:

Pertama, Visioner dan missioner (inovatif-kreatif) bermimpi dan secara kreatif mengubah kehidupan masyarakat menjadi baik dan benar.

Kedua, Transformatif (professional, bias melakukan pembaruna) bertindak bijanksana dan professional dapat merubah karakter bangsa yang dipimpinnya.

Ketiga, Partisipatif memberdayakan dan membangun jaringan yang mampu menggerakkan semua rakyat berpatispasi melakukan perubahan.

Keempat, Komunikatif bersikap demokratis mampu memberi informasi yang benar dan menerima informasi sederhana dan jelas.

Kelima,Manusiawi (high tough) menghargai manusia lebih dari apapun juga. Pemimpin adalah manusia bukan benda atau system.

Keenam, Pemimpin bangsa yang credible (dipercaya) di dalam negeri maupun luar negeri yang dapat diukur oleh dua hal: (1). Bebas korupsi, Kolusi, Nipotisme (KKN) (2).Tidak memeiliki catatan sejarah yang menunjukkan kedekatan relasi dengan: (a). menikmati fasilitas KKN pada masa lalu. (b).membiarkan tejadinya penyelelewengan masa lalu, terlibat dalam perumusan-perumusan kebijakan yang pro penguasa dan kroni-kroninya.

Ketujuh, Diakui keabsahannya secara legal formal untuk menyelesaikan multikrisis sehingga diperlukan pemimpin bangsa yang memiliki legitimasi formal yang kuat dari lembaga MPR/DPR.

Kedelapan, Memiliki platform kebijakan yang mantap dan pro rakyat. Pemimpin bangsa harus memiliki landasan kebijakan yang mantap pula untuk segera memulihkan multikrisis di berbagai bidang kehidupan.

Kesembilan, Mengembalikan kredibilitas pemerintahan di dalam negeri dan juga luar negeri.

Kesepuluh, Presiden dan wakil presiden yang benar-benar m,encerminkan perwakilan rakyat.

Kesebelas, Kepemimpinan Nasional yang dikehendaki oleh rakyat adalah sikap kepemimpinan Maha Pati Gajah Mada yaitu dalam sifat, watak dan karakternya sebagai berikut:

a). Widjna, artinya berlaku bijaksana dengan penuh hikmah dalam menghadapi kesukaran atau peristiwa-peristiwa yang sangat genting dan penting.

b). Mantriwira, artinya seorang pembela Negara yang selalu berani dalam segala situasi.

c). Wicaksaning Naya, artinya sifat kebijaksanaan dalam segala situasi dan tindakan demi masyarakat mulai dari golongan bawah sampai yang paling tinggi.

d). Matanggwam, artinya menjadi kesukaan dan kepercayaan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

e). Satya Bhakti Aprabu, artinya setia dengan hati yang iklas dan tulus demi kemaslahatan berbangsa-bernegara.

f). Wagni Wak, artinya pandai berpidato untuk mengutarakan segala kebijaksanaanya.

g). Sardjawo Pasama, artinya tingkahlaku yang memperhatikan kerendahan hati dan bermuka manis, tulus iklas, lurus dan sabar dalam menghadapi berbagai masalah Negara.

h). Dhitsaha, artinya selalu bekerja rajin dan sungguh dengan keteguhan hati.

i). Tanlalana, artinya sifat yang bangun tegak dan selalu bertindak cepat.

j). Diwjatjita, artinya selalu berhati baik dalam hubungan dengan orang lain dan selalu siap mendengarkan bermacam-macam pikiran orang.

l). Tan Sastrana, artinya tidak mempunyai keinginan/kepentingan pribadi atau golongan dalam menjalankan kenegraaan.

m). Sihsamasta Bhuana, artinya kasih sayang pada sesama tampa memilih-memilah suku, agama, dan ras (Sara) berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

n). Ginong Pratikina, artinya selalu mengerjakan yang baik dan menjauhkan kelakuan yang tidak baik.

0). Hanyaken Musuh, artinya tegas dalam mengambil sikap terhadap lawan-lawan politiknya yang menghalangi serta mengacau kemajuan Negara.

PANCASILA:

Pertama, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah asset, investasi, saham besar Bangsa Indonesia.

Kedua, Pancasila adalah sumber dari segala produk undang-undang. Hukum agama bukan bersumber dari hukum Negara.

Ketiga, Masalah kita dari dulu sampai saat ini adalah Nasionalisme dan Sektarian.

Keempat, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah harga mati. Karena Pancasila dan UUD 1945 adalah sumum bonum bagi berbangsa dan bernegara.

Kelima, Negara kita saat ini penganut Presindentil tetapi dalam prakteknya bertindak justru Parlementer





II. PANCASILA

Pertama, Bung Karno pada bagian penghujung pidatonya, 1 Juni 1945, “Kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia—semua buat semua.

Kedua, Pancasila, UUD 1945, NKRI adalah investasi, saham besar bagi bangsa Indonesia dan ini juga merupakan harga mati yang tidak dapat diobok-obok. Enam puluh empat tahun merdeka dan oleh the founther leaders bangsa ini telah menggagas Pancasila sebagai falsafah dasar berbangsa dan bernegara, hari ini adalah momen reflektif bagi bangsa Indonesia dalam menilai apakah falsafah tersebut masih relevan atau telah diusangkan (outlived) oleh krisis multidimensional yang melanda negeri ini?

Ketiga, Pancasila adalah sumber tertinggi dari segala produk Undang-Undang didalam dan bagi Negara ini. Hukum Agama bukan bersumber dari hokum Negara.

Keempat, Telah berlalu masa panjang ketika kekayaan dan keindahan negeri ini tidak lagi membawa kemakmuran, kelimpahan penduduk tidak memperkuat daya saing, kemajemukan kebangsaan tidak memperkuat ketahanan budaya, keberagaman tidak mendorong keinsyafan berbudi.

Kelima, Antisipasi Pancasila dari berbsgai tantangan dalam kehidupan global dan domestic yang terjadi untuk melihat apakah nilai-nilai Pancasila masih relevan atau telah diusangkan oleh perkembangan zaman?. Berbagai persoalan kontemporer yang disebutkan, jauh-jauh hari telah diantisipasi oleh Pancasila.

Keenam, Dalam mengantisipasi kemungkinan menguatnya fundamentalisme agama, sila pertama menekankan prinsip ketuhanan yang berkebudayaan dan berkeadaban. Bung Karno telah menyatakan, “Hendaknya Negara Indonesia adalah Negara yang tiap-tiap orang dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiadanya ‘egoisme-agama’…..Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain”.

Ketujuh, Dalam mengatisipasi dampak-dampak destruktif dari globalisasi dan lokalisasi, dalam bentuk homogenisasi dan partikularisasi identitas, prinsip “sosio-nasionalisme” yang tertuang dalam sila kedua dan ketiga dari Pancasila telah memberikan jawaban yang mantap.

Kedelapan, Dalam mengantisipasi tirani dan ketidakadilan dalam politik dan ekonomi, prinsip “sosio-demokarasi” yang tertuang dalam sila keempat dan kelima dari Pancasila, memberi solusi yang andal. Menurut prinsip ini, demokrasi politik harus sejalan dengan demokrasi ekonomi. Pada bidang ekonomi, negara harus aktif mengupayakan keadilan sosial, dalam rangka mengatasi dan mengimbangi ketidaksetaraan yang terjadi di pasar.


KESIMPULAN

1. Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 45 menganut paham Negara demokrasi berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat, yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam Negara.
2. Sistem pemerintahan Negara dianut oleh Pancasila dan UUD 45 adalah sistem pemerintahan presidensial yang mendudukkan lembaga keprisedenan sebagai salah satu pelaksanaan kekuasaan dalam Negara yang menjalankan kekuasaan utama sebagai eksekutif dan bertanggung jawab kepada rakyat melalui MPR.
3. Kekuasaan Presiden RI terdiri dari kekuasaan kepala Negara, kekuasaan sebagai kepala pemerintahan dan kekuasaan legislatif. Kekuasaan-kekuasaan tersebut dilaksanakan dengan tetap berdasarkan pada konstitusi dan peraturan perundang-uandang yang berlaku.
4. Hak pregrogatif presiden merupakan hak memberikan kekuasaan mutlak kepada seorang presiden dalam menjalankan kekuasaan tertentu tanpa dapat digugat atau dimintakan pertanggunganganjawaban oleh lembaga lain.
5. Pelaksanaan kekuasaan Presiden RI di masa mendatang memerlukan suatu mekanisme yang memberikan peluang kepada suprastruktur politik, infrastruktur politik, dan masyarakat umum untuk melakukan pengawasan dalam pelaksanaan kekuasaan tersebut. Mekasnisme tersebut harus didasarkan pada peraturan perundang-undang yang jelas dan operasional serta dilakukan secara transparan.
6. Mekanisme pelaksanaan kekuasaan presiden di masa mendatang dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kategori, yaitu kekuasaan presiden dengan persetujuan DPR, kekuasaan Presiden dengan konsultasi, dan kekuasaan presiden secara administrative (penetapan seremonial). Sedangkan kekuasaan presdien yang mandiri, di masa mendatang sudah tidak lagi mempunyai tempat dalam praktek ketatanegraan, karena tidak sesuai lagi dengan kebutuhan demokratisasi di Indonesia.




Jakarta, Juni 2009



Drs. Jerry Rumahlatu, D.Th